SURAT KEPADA ELLA
(Evi Indrawanto)
Aku
mengagumi Ella yang asli Jerman itu dalam dua hal. Pertama, matanya biru
bercahaya, sebiru lautan Atlantik saat ditempa sinar Matahari. Ditengah kulit
muka kepucatan, didalam rongga mata yang seperti boneka Barbie, ia seperti
membawa kelereng kemana-mana untuk menggoda anak-anak. Kedua, pengetahuannya
tentang adat dan budaya Minangkabau membuat aku yang mengaku orang Minang asli
itu harus mau kembali bercermin pada permukaan licin tanpa cacat.
Ella menikah dengan pria Urang Awak dan
perkenalan kami untuk pertama kalinya terjadi tatkala memperingati hari
kemerdekaan RI tahun 1998 di lingkungan tempat tinggal kami yang baru. Dia
ramah, senyumnya hangat, selalu menunjukan ketertarikan pada lawan bicara. Aku
pernah bergurau untuk meminjam matanya, dengan gaya seratus persen serius, dia
menyuruhku untuk mencopot mataku, lalu dia mencopot matanya sendiri. Sim
salabim dalam sekejab mata biru itu telah menempel didalam rongga mataku dengan
kulit coklat cenderung hitam yang mengelilinginya. Setelah itu dia
teriak-teriak sebab tidak dapat menyaksikan betapa jadi cantiknya aku. Seorang
teman lalu dengan baik hati meminjamkan matanya, sekarang aku yang protes,
sebab aku tahu mata yang ia pinjamkan itu adalah milikku. Ya itulah aku, mau
mencoba yang lain, tapi takut kehilangan seluk-beluk keakraban yang telah lama
menjadi milikku.
Suatu
hari, selesai arisan RT, sambil menyeruput kunyit asam yang dihidangkan tuan
rumah, Ella bertanya tentang budaya
Minangkabau yang belum pernah ditulis didalam buku. Mungkin ini cuma
imajinasiku, tapi ada kedalaman yang tidak terselami dibalik pertanyaannya. Aku
tersedak saat menyadarinya, syukurlah jamu khusus untuk wanita itu tidak
membuatku sampai tercekik. "Weleh-weleh Ella, yang dituliskan didalam buku
saja aku tidak paham, apa lagi yang tidak dituliskan, "adalah jawaban
standard yang paling terpikirkan kala itu. Lalu sebagai usaha bela diri aku tambahkan, bahwa aku besar di rantau,
ketika remaja pernah tinggal tinggal satu tahun atau lebih di kampung, dan
setelah itu hanya sekali-sekali saja pulang.
Ternyata
aku keliru memperhitungkan kemampuan Ella untuk berempati dengan sesama. Dengan
bahasanya yang jernih ia berhasil mematikan 'tulalit 'yang tidak perlu
dikepalaku. Sebagai permulaan ia membawaku kedalam pasar, pasar Bukittinggi.
Oh, aku langsung mengerti apa yang dia inginkan. "Kalau mau belanja ke pasar sebaiknya kamu tidak pergi
sendiri. Bawa keponakan atau salah satu Sumandanmu...."
Sampai
disini aku berhenti, alaram berdering dikepala, aku jadi ragu untuk meneruskan.
Sampai hatikah aku meneruskan kalimat
"para pedagang di Pasa Lereang cenderung menganggap bahwa turis
(bule) atau orang yang bahasa Minangnya patah-patah itu tidak tahu harga.Mereka
rela menyebutkan berapapun harga yang terpikir saat itu tanpa mempertimbangkan
bahwa barang-barang yang seperti mereka perdagangkan itu juga terdapat di luar
Bukittinggi." Tidak sulit menyusun kalimat itu sebab aku bicara
berbasiskan kenyataan. Cuma, mana rasa solidaritas kesukuanku, raso sahino
samalu, salarang sapantangan, yang telah ditorehkan oleh niniekku sejak ratusan
tahun yang lalu.Bukankah sebagai invidu yang telah lebur menjadi satu kelompok
aku berkewajiban untuk membela kepentingan bersama, terutama pada dunia luar
jika ada sak yang sekiranya dapat menodai citra suku. Jika seorang anggota suku
saja diremehkan dalam pergaulan, maka seluruh anggota suku berhak merasa
tersinggung. Akupun telah diwarisi pepatah, babuhue bakabek arek, saikek
sabuhue mati, masa sekarang harus menakut-nakuti orang luar dengan cerita yang
tidak-tidak. Bisa kabur semua turis yang sudah booking menuju Bukittinggi.
Ah!
Lalu aku di ingatkan oleh fakta bahwa Ella bukanlah turis. Ia cinta budaya
Minangkabau. Mamak di rumah gadangku pasti akan bangga mendapat tambahan
kemenakan seperti Ella dan aku berani menjamin dengan sukerela ia akan
mengadakan perhelatan untuk memulai proses 'malakok'-nya Ella didalam pesukuan
kami. Sekali lagi, Ella bukan orang
luar, dia orang Minangkabau, orang Minangkabau yang akan mengingatkan orang
Minangkabau sejati siapa mereka. Akan kuceritakan apa saja yang pernah
kuketahui kepadanya, kebetulan, aku memang sedang butuh kawan untuk 'curhat'
Yah,
hari itu mood-ku sedang tidak bagus, mungkin sedang terpengaruh siklus bulanan,
atau jengkel pada suami yang tidak kunjung mengerti bahasa isyarat akhir bulan,
atau boleh jadi juga keduanya, jadi yang tampak olehku cuma setumpuk potret
buram yang pantas di kasihani. Aku tidak berdaya, tapi didalam hati berjanji,
bahwa jika ada lain kali, aku akan membawa hal-hal yang lebih positif
kehadapannya. Tapi juga tak bisa di ingkari bahwa aku memang punya rasa
sentimen terhadap beberapa orang pedagang di Pasar Bukittinggi yang belum juga
terhapus walau kejadian itu sudah lewat bertahun-tahun. Itulah, aku seorang
pendendam yang baik. Maka kuuraikan hambatan emosi itu dengan intonasi sewaras
mungkin. " Kamu boleh menawar barang yang di taksir, Ella, tapi jangan ngotot
sebab si penjual dengan suara seperti udara Berlin di musim dingin akan
menasehati kamu untuk mencoba keberuntungan di tempat lain."
Aku
kebanyakan omong? Tentu saja. Heran?
Jangan! Sebab aku sedang demam panggung. Coba dengarkan celotehku:
Kamu
boleh berprasangka bahwa barang terbagus disimpan untuk pembeli terakhir tapi
janganlah mengaduk terlalu lama sebab si penjual tidak ragu menegur bahwa
barang yang diatas atau yang dibawah sama saja kualitasnya.
Kalau
hendak membeli buah, jangan mau mencicipi
buah yang sudah dikupaskan hanya
sekedar untuk meyakinkan bahwa buah-buah yang lain sama manisnya. Cobailah buah
yang hendak di beli.
Bila
kamu tidak cocok dengan suatu barang jangan pergi begitu saja sebab dibelakang
bakal keluar kalimat tidak sedap mengiringi kepergianmu. Lalu seperti orang
baru jaga dari bangun tidur siang, buru-buru kutambahkan, ini mestinya etiket
belanja universal, berlaku dimana saja.
Kuliahku
merambah pada kehidupan sosial Rumah Gadang. "Aku tidak perlu memberi
penjelasan padamu bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di
Minangkabau. Kalaupun ada, hanyalah biologisnya saja, tidak dalam fungsi
sosial. Hanya saja harap berhati-hati.
Idiom itu cuma tertulis didalam buku. Tugas-tugas domestik tetaplah milikmu,
milik perempuan seutuhnya. Cobalah minta suamimu untuk menggantikan popok anak,
atau membantumu mengerjakan pekerjaan rumah didekat ibu mertua, dalam waktu
singkat akan ada predikat baru yang layak kau sandang. Kalaupun kamu beruntung
,apakah tega membiarkan ibu mertua menghabiskan sisa umurnya dengan tidak enak
makan dan tidak enak tidur? Ia bisa menangisi anaknya 'yang tergadai' itu
seumur hidup, menyesali mengapa anak laki-lakinya bisa kalah nyali, coba kalau
ia kawin dengan Urang Awak...Tuh! Apa tega kamu, Ella?"
Habibie
punya parleman benaran. Mahasiswa punya Parlemen Jalanan. Kami, ibu-ibu juga
punya parlemen, parlemen dapur. Dan Parlemen dapur pun lekang oleh panas dan
harus pandai bernegosiasi dengan waktu. Obrolanku tentang budaya Minangkabau
dengan Ella tidak bisa diteruskan secara face to face. kewajiban sebagai
pengelola rumah tangga menanti kami tanpa kompromi. Untunglah para suami tidak
egois, walaupun tinggal dirumah toh kami masih perlu untuk mengasah kehidupan
sosial, dan jendela kecil ini sangat menyenang untuk mengintip dunia. Sebetulnya kurang memuaskan bila
dibandingkan dengan pembicaraan 'hidup', apa boleh buat, sekecil apapun karunia
toh kita wajib bersyukur kepada Yang Diatas. Dibawah adalah isi kutipan surat
eletronikku kepada Ella, si mata Barbie itu.
===============
Ella,
kemarin aku janji akan menceritakan
kepadamu tentang adat Minangkabau yang belum pernah ditulis dibuku. Tampaknya
di surat ini aku harus minta maaf sebab rasanya belum bisa dilanjutkan. Eh,
apa-apa yang tidak dituliskan itu biasanya memang untuk disimpan, sayang. Tapi
tidak, bukan itu alasan mengapa aku tidak bisa menulis kali ini. Tahu sendiri
kan refrensiku? Sepertinya kemarin aku kesambet jadi lancar saja mengeluarkan
berbagai potret negatip. Hari ini mesinku sudah normal lagi. Tadinya aku tidak
mau di permainkan emosi dan tetap ngotot mengingat-ingat macam-macam permintaan
kamu. Herannya walau sudah susah-payah mencukil, bahkan berlayar ke alam
kembaran segala, tetap saja tidak kelihatan apa yang hendak kuceritakan
kemarin. Malah lahir tulisan-tulisan konyol yang cuma pantas di baca olehku dan
Tuhan. Nyerah deh! Bagaimana kalau kita mengulas hal-hal yang sudah kita
ketahui saja, hitung-hitung mengasah pengetahuan?
Ella,
aku masih tertawa mengingat pernyataanmu kemarin. Katamu, si Padang suamimu,
tampak jauh lebih seksi bila ia duduk di kelilingi oleh para kerabat dan handai
taulannya. Duduk, seksi, di kelilingi
kerabat, kok susah betul menggabungkan? Ungkapanmu itu selalu aneh-aneh, tau?!
Dan kuharap yang satu ini bukan kelainan. Tapi mengingat bahwa laki-laki
Minangkabau itu mempunyai mission impossible dalam hidupnya, kalau tidak bisa
dibilang tragis, layak juga dia dapat penghargaan serupa itu darimu. Kamu pasti
tahu pepatah ini:
Kaluak
paku kacang balimbiang
Buah
si Mantuang lenggang-lenggangkan
Anak
di pangku kamanakan di jinjiang
Urang
kampuang di patenggangkan
Tragis
kan ? Sudah harus memangku anak, menuntun kamenakan, e, mata di haruskan pula
longok-longok pada orang kampung. Tahu sendiri lah bagimana runyamnya kalau
sudah berhadapan dengan banyak kepala. Kurasa kalau saja Plato masih hidup, dia
akan menangis melihat nasib kaumnya ini. Dengan langkah 'drunken master' ia
bicara tersedak-sedak; " engkau egh... mulai melakukan sebuah kekeliruan
jika egh... engkau mengusulkan agar
kita menghormati banyak pendapat egh...Apakah itu tentang baik dan buruk egh..
adil dan lalim egh... atau hormat dan hina." Ya egh.... Cuma Minangkabau
bukan negerinya si Plato. Yang kita bicarakan
ini adalah bumi swarnadwipa, sebuah negeri yang sarat dengan adat istiadat.
Berdiri saja di tepi jalan, harus beradat, bertamu beradat, makan beradat,
bahkan tidurpun diharuskan pula beradat.
Oh
ya, aku tidak tertarik membicarakan Plato dan adatnya lebih jauh. Karena
kemarin kamu membawa-bawa suami, yok, kita fokuskan perhatian pada makhluk dari
planet Mars ini. Tahu tidak, aku kalau berpikir tentang laki-laki Minangkabau
--terutama yang tidak sukses dalam artian umum--pengennya meratapi nasib mereka
saja. Bagaimana tidak, dari kecil sudah sengsara. Tidur tidak bisa enak-enakan
di rumah Bunda, cuma berselimut sarung, harus puas di kerumuni nyamuk di Surau.
Ketika hal itu mulai tak tertahankan, mereka berontak. Tapi mau ngomong apa,
tidak akan ada yang mendukung penderitaan ini. Satu-satunya pilihan hanyalah
lari ke rantau, negeri antah berantah yang yang terletak di belakang awan.
Pergi pun tidak membawa modal. Yang membekali hanyalah sebongkah kepahitan,
kesulitan ekonomi, serta tekat untuk menaklukan hidup. Yah! Mengapa ya Tuhan
tidak pernah bertanya, apakah mereka mau menerima hidup atau tidak. Mungkin
karena kebenaran cuma Dia yang punya jadi kita manusia tidak boleh banyak
tanya. Hanya kalau dipikir lebih dalam lagi sebenarnya Dia sangat fair kok. Dia
kan memberi kita kesempatan cara hidup yang bagaimana yang kita pilih.
Kau
tahu kan Ella, sukses dan sukses itu cuma Tuhan yang punya. Sepanjang manusia
menyusuri tali hidup, yang namanya sukses atau gagal itu datang silih
berganti. Aku kenal beberapa orang
laki-laki Minangkabau yang tidak berhasil menaklukan negeri mereka yang baru walaupun mereka telah
dibekali oleh semangat pantang menyerah, semangat yang tidak akan pernah
membawa kegagalan ke kampung halaman. Mereka yang gagal itu ada yang sifatnya sementara tapi ada pula yang
permanen. Yang aku salut dari mereka adalah, mereka tidak pernah menangisi
nasib ini, apa lagi sampai membawa-bawanya ke kampung. Kalau kamu tahu
bagaimana harta pusaka Mande mereka di kampung, tidak terbayangkan memandang
mereka teriak-teriak jualan kamper di tepi jalan. Inilah seni kehidupan yang
telah sukses ditorehkan ole niniek moyang mereka sejak ribuan tahun yang lalu.
Nama kitabnya 'alue patuik'. Sebagian isinya, aib besar meminta sokongan
finacial dari para Mande di kampung halaman. Lebih baik mati berkalang tanah di
negeri orang dari pada mengutik harta pusaka yang diturunkan
berturut-turut dari: Niniek turun ka
Gaek, dari Gaek turun ka Uo, dari Uo turun ka Mande, dari Mande turun kepada
'aku', si puan Rumah gadang.
Satu-satunya
warisan yang boleh mereka harapkan hanyalah 'sako', kekayaan immaterial, berupa
Gelar pusaka dari Penghulu terdahulu. Menurutku, warisan seperti ini lebih
membebani alih-alih menyenangkan. Sebagai Penghulu kau tidak bisa hanya bicara
tanggung jawab, bila tidak capable, kau juga harus siap dengan aib yang akan mengikutinya. Memang
sih yang diangkat jadi penghulu itu orang-orang yang punya bobot, tapi kan ada
saja kecelakaan di atas muka bumi ini. Sementara kedudukan istimewa itu tidak
akan menjamin bahwa dapur anak-istri akan terus berasap. Tidak menarik ya, jadi
laki-laki di Minangkabau? Siapa bilang. Percayalah, Ella, hal demikian tidak
akan mengurangi cinta ke Ranah Minang. Tanah Bundo kanduang yang berpagar
gunung Merapi dan Singgalang serta Tandikek dan gunung Sago itu tetaplah tempat
terbaik yang pernah di pikirkan oleh putra-putri Minangkabau. Kukutipkan
ratapan kerinduan seorang putra Minang terkenal, HAMKA, untukmu:
Aduh
Minang
Kalau
tidak di rumput surut
Tidaklah
pandan berderai
Kalau
tidak di sarit hidup
Tidaklah
kita bercerai..
Sedih?
Hei, there is always a blessing in disguise. Konon, hikmah adalah harta
kekayaan orang mukmin yang hilang, maka harus dipungut dimanapun ia berada.
Hm..Hm...Setidaknya demikian yang di riwayatkan oleh H. Ibnu Majah. Itulah,
mengapa para lelaki di kampung kami tumbuh menjadi makhluk tangguh. kalau tidak
karena mereka tidak akan lahir budaya merantau yang terkenal itu. Dan suku kami
tercinta ini mungkin tidak begitu seterkenal sekarang. Pernah iseng untuk
menghitung berapa banyak mahasiswa di dunia ini yang memperoleh gelar Doktor
karena kata sakti merantau?
Kembali
ke suami seksimu, menurutku, saat itu ia sedang balas dendam. Bertahun-tahun
menjadi laki-laki yang diharapkan sebagai 'pambangkik batang tarandam',
sekarang batang itu itu sudah terbangkit. Karena itu hormonnya bekerja
senormal-normalnya. Ia seperti kuda tangkas selesai bertanding, yang tahu
bagaimana cara memetik kemenangan. Wajar kalau ia merasa puas bahwa disamping
bisa memberi kesejahteraan pada keluarga, ia telah berbuat sesuatu yang nyata
untuk kemenakan dan handai taulan. Gol telah ia gengam dan ia tahu misinya akan
terus berlanjut sepanjang Rumah Gadang tetap berdiri. Soal hormon, oh ya,
hormon itu terbang ke muka, membuatnya jadi cling, dan kamu yang menyimpan insting
primitif dengan kuatnya, menterjemahkan itu sebagai isyarat untuk berkembang
biak. Ella...Ella...
Kuhargai
sikapmu untuk menahan diri. Tidak terbayangkan apa jadinya jika saat itu juga
kau seret ia kedalam bilik mertuamu. Bisa jadi Rumah Gadang berserambi Aceh
senyap dalam sekejab tapi heboh dengan bisik-bisik dibelakang pintu. Tandikek
dan gunuang Sago kiwir-kiwir menghadang matahari dengan sikap kemaluan. Kau
tahu, lantai kulit dibawah kakimu tidak akan kuat meredam bunyi-bunyi rahasia
yang datang dari celah papan berukir 'cino' dengan catnya merah dan perak itu.
Alhamdulillah Ella, sawah lah sudah jo lantaknyo, ladang lah sudah jo ranjinyo,
kau termasuk kedalam golongan wanita
yang 'tahu di angin basiru, tahu diombak yang berdebur', kau tidak akan menuruti
darah Ariamu. Tahu tidak, aku bangga bisa menjadi temanmu. Terpikir olehku
betapa Heil Hitlermu diatas sana gelisah menatap ulah kita. Mengingat
kejahatannya pada kemanusian, ia pantas kok diperlakukan seperti ini.
Ah
Ella, kami, wanita Minangkabau tidak terbiasa merespon reaksi hormonal yang
normal itu dengan kembang api 4 Juli. Sandi rumah kami beralur adat, tonggak
hitam ditengah rumah tempat kami bersandar dalam arus 'manarah manuruik alue'.
Cinta bagi kami adalah pelayanan, service, atau apapun namanya, you can name it
as you like. Kami buatkan makanan lezat yang disukainya, kami cuci dan seterika
bajunya, dan kami rawat anak-anaknya.
Itulah ungkapan cinta paling pas wanita Minangkabau pada para lelaki yang
dicintainya. Kalau dibandingkan dengan kebudayaanmu memang tampak lebih
primitif, ya? Kurasa disinilah paling pas meletakan filsafatmu tentang
mengosongkan salah satu sudut di kepala kita agar dapat dipakai sebagai tempat
berpendapat oleh orang lain.
Sekian
dulu, tanganku sudah pegal, mata juga sudah capek. Oh ya bahan-bahan dari
tulisanku ini berasal dari aneka macam buku terutama dari ADAT MINANGKABAU
karya AMIR M.S
Temanmu,
Evi