TERLALU JAUH
(Syafrinal Syarien)

 

Acara yang paling saya sukai dari TVRI stasiun Padang adalah berita daerah setiap jam 5.30 sore. Saya suka acara itu bukan karena beritanya, sebab sejauh ini beritanya tak ubahnya dengan koran Haluan yang dulu dijuluki "catatan harian walikota" karena banyak memuat

berita yang sejuk-sejuk saja, seperti kegiatan ibu-ibu PKK dll. Saya suka acara berita tersebut karena dalam wawancaranya dengan penduduk, sering terlontar bahasa Indonesia versi Minang yang lucu-lucu. Seperti, "saya dengar ada tanah runtuh, lalu saya bantai lari," kata seorang bapak bercerita tentang tanah longsor. Atau, "minyak manis sekarang tujuh ribu sekila," kata seorang ibu yang diwawancarai soal sembako. Ia mengatakan "sekila" bukan "sekilo". Pokoknya saya lebih banyak tertawa ketika menonton berita daerah, ketimbang menonton sinetron komedi tentang hantu-hantu sexy di RCTI.

 

            Hari Senin malam lalu, TVRI stasiun Padang menyiarkan acara kesenian Rebab Pesisir. studionya diatur seperti lazimnya acara rebab. Ada seorang tukang rebab, seorang asisten tukang rebab yang memainkan alat rebana, dan ada beberapa orang penonton, lengkap dengan kopi dan pisang goreng yang terhampar di tikar pandan. Di antara penonton itu, hanya satu orang yang menarik perhatian saya. Ia seorang gaek, giginya sudah banyak ompong. Menariknya karena saya perhatikan ia sangat menikmati rebab tersebut.

 

            Cerita yang dibawakan tukang rebab adalah kaba si Rukiyah. Cerita ini tak lebih dari cerita melankolis biasa tentang seorang gadis bernama Rukiyah. Ayah si Rukiyah, pedagang kaya di pasa ateh Bukittinggi, kawin lagi, lalu si Rukiyah dan ibunya terlantar. Selanjutnya si Rukiyah diangkat sebagai anak oleh seorang Jaksa. Ada pemuda bernama Malano yang naksir ke si Rukiyah. Dan seterusnya sampai diakhiri dengan "happy-ending." Mirip cerita di film India memang.

 

            Sepanjang pertunjukan, perhatian saya lebih banyak tersita kepada orang gaek penonton itu ketimbang si tukang rebab.  Orang gaek ini bagaikan menyatu dengan cerita si tukang rebab. Ia manggut-manggut ketika tukang rebab menceritakan nasehat ibu ke si Rukiyah. Mukanya berubah berang tatkala mendengar perlakuan kasar ayah si Rukiyah. Ia pun tersenyum lebar, memperlihatkan gigi ompongnya, ketika mendengar kisah asmara si Rukiyah dan si Malano. Bahkan di bagian penutup ketika si tukang rebab memainkan bagian sampiran, "ginyang mak taci ginyang....ginyang salider ginyang..." ditingkahi bunyi rebana dan gesekan dinamis dari si tukang rebab, saya perhatikan si gaek ini pun meliuk-liuk sembari menyahut sekali-sekali, "ginyang taruiiiihhh...." Si orang gaek ini tak ubahnya bagai anak-anak muda yang 'tripping' di diskotek setelah menenggak dua butir pil ekstasi.

 

            Tiba-tiba saya merasa iri pada orang gaek itu. Saya iri karena ia begitu menikmati kesenian rebab ini, sementara saya nyaris tak bias menikmatinya walaupun telah berusaha keras selama satu setengah jam pertunjukan. Saya tak tahu apa yang salah. Ketika menonton video klip "Ghost" Michael Jackson, saya bisa ikut berjingkrak-jingkrak pula menikmatinya. Namun ketika menonton rebab, saya nyaris terpaku di kursi tanpa ada perasaan apa-apa. Hal yang membuat saya terhibur ketika menonton rebab di TV itu hanya karena tingkah-polah si gaek itu.

 

            Walau tak bisa menikmati, saya coba juga mengapresiasi pertunjukan rebab itu. Dalam hal ini saya cukup kagum pada kemampuan si tukang rebab dalam mengatur ritme. Raut mukanya bisa berubah-ubah sesuai dengan jalan cerita. Ia pun bisa terisak-isak ketika cerita mulai sedih. Ia bisa tertawa, memperlihatkan gigi platinanya, ketika menceritakan bagian lucu. Ada juga kata-kata lugu yang dilontarkannya, seperti "minyak lasik-lasik" sebagai pengganti kata "parfum". Demikian juga pantun, pepatah, petitih yang mengalir begitu lancar dari mulutnya. Dalam hal vokal, si tukang rebab masih kalah dengan dalang di seni wayang. Seorang dalang bisa memiliki suara berbeda-beda untuk setiap tokoh. Suara Arjuna berbeda jauh dengan suara Bima. Sementara itu, tukang rebab hanya punya satu suara. Sama sekali tak banyak beda antara suara si Malano (laki-laki) dengan si Rukiyah (perempuan).

 

            Saya telah katakan bahwa saya iri karena ketakmampuan saya menikmati rebab. Hal yang sama pernah saya alami ketika menonton pertunjukan wayang. Tapi tak apa-apa karena saya tak mengerti bahasa Jawa. Atau ketika menonton opera di Sydney Opera House. Saya pun tak bisa menikmati opera itu. Tak apa-apa juga karena di samping memakai bahasa Italia, musik di opera itu terlalu megah buat saya. Tapi ini masalahnya lain. Sudah seyogyanya saya harus bisa menikmati pertunjukan rebab, karena saya mengerti bahasa Minang dan saya besar dalam latar budaya Minang.

 

            Tiba-tiba muncul rasa bersalah!

 

            Jika saya yang generasi muda minang ini tak mampu menikmati kesenian tradisional minang, apalagi generasi dari etnis lain. Saya merasa bagai seorang anak durhaka manakala berjingkrak-jingkrak menyaksikan Michael Jackson bergerak lincah dengan tari patah-tulangnya, namun terhenyak tanpa ekspresi ketika menyaksikan pertunjukan rebab. Rasanya seperti membangkang kepada kultur yang membesarkan saya.

 

            Agar rasa bersalah itu tak lagi menggedor-gedor, saya coba memahami cerita rebab itu dalam konteks perbedaan generasi saya dengan generasi si gaek ompong yang jadi penonton di sana. Antara saya dan si gaek itu terdapat beda terlalu jauh. Bagi orang segenerasi dengan gaek itu, mungkin rebab adalah media tempat mereka becermin. Cerita si Rukiyah itu di jaman dulu dengan gampang bisa ditemui. Seorang ayah berbini banyak; kehidupan serba melarat; kesedihan dari awal sampai akhir; penderitaan tak habis-habisnya; air mata yang tak pernah kering....semua sangat akrab dengan generasi dahulu. Lalu ketika pertunjukan rebab berakhir menjelang subuh, mata mereka bisa sembab karena menahan air mata. Sebab cerita sedih di rebab itu hampir sama dengan kehidupan pribadi mereka.

 

            Sementara saya lahir dari keluarga priyayi, kedua orang tua saya bekerja sebagai pegawai negeri. Kalau pun ada cerita sedih dalam kehidupan saya, rasanya tak separah si Rukiyah. Generasi saya lebih akrab dengan alat musik saxophone, piano, dan gitar, ketimbang alat musik ngak-ngik-ngok ala rebab itu. Generasi saya terbiasa dengan cerita versi Holywood, bukan cerita melankolis ala India. Generasi saya biasa dengan gaya 'to the point': kalau naksir cewek, langsung datang ke rumah cewek itu, berkenalan, dan selanjutnya pakai tips "minyak manih panyeka rambuik" ala TGM. Tak seperti si Malano yang naksir si Rukiyah setengah mati, namun lebih banyak memendam rindunya sampai berkarat dengan berpantun-ria. Singkatnya, ada jarak terlalu jauh antara generasi saya dengan generasi gaek ompong itu, walau kami sama-sama dibesarkan oleh kultur Minangkabau.

 

            Rasanya saya tak perlu mencari-cari episode sedih dalam kehidupan saya agar bisa menikmati rebab. Biarlah rebab itu meratap-ratap terus seperti apa adanya. Kalau lah generasi gaek ompong itu akhirnya punah, sehingga tak ada lagi pencandu rebab, saya hanya bisa menyarankan kepada si tukang rebab supaya melakukan diversifikasi. Misalnya: ganti alat musiknya dengan saxophone ala Kenny G., atau ganti topik cerita yang sesuai dengan kekinian, cerita tentang Soeharto lengser keprabon, misalnya.

 

    Segala sesuatu memang harus berubah. Sesuatu yang tak berubah adalah perubahan itu sendiri. Bahkan sekarang di era informasi, perubahan itu pun bisa berubah: Accelerated Changing!!